Bukan hal yang mudah membuat suasana kuliah online menjadi lebih hidup layaknya kuliah tatap muka. Inilah yang dirasakan Henny Sri Wahyuni, salah seorang dosen di Universitas Sumatera Utara (USU).
Seperti kebanyakan pendidik lainnya, mau tidak mau Henny harus memutar otak untuk menyusun formula metode mengajar yang dapat menarik atensi mahasiswanya. Sebab, cara dosen dalam mengajar akan menentukan tingkat pemahaman mahasiswa.
“Kalau nilai mahasiswanya rendah sebenarnya bukan mahasiswanya yang tidak pintar, tapi dosen yang mungkin tidak pandai menyampaikan materi pembelajaran kepada mahasiswa,” begitulah prinsip yang dipegang oleh Henny di balik keberhasilannya dalam mengajar. Hal ini dibuktikan dengan nilai mahasiswa yang kian membaik.
Sebagai dosen Fakultas Farmasi di kampusnya, Henny menerapkan metode coaching dalam mengajar agar mahasiswa lebih aktif dan tidak terkuras energinya saat menerima materi perkuliahan. Menurutnya, coaching adalah metode yang cocok untuk diterapkan dalam praktik pembelajaran di kelas.
“Awalnya di benak saya ini kayaknya nggak ada hubungan deh antara couch dengan mengajar gitu,” tutur Henny saat mengisi acara Fellowship Jurnalisme Pendidikan yang diselenggarakan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) berkolaborasi dengan PT Paragon Technology and Innovation, Jumat (27/5/2022).
“Nah, ternyata dengan mengikuti program ILP, itulah (coaching) yang seharusnya kita lakukan sebenarnya kepada mahasiswa dan murid-murid kita,” sambungnya.
Di hadapan para jurnalis dari berbagai daerah yang menjadi peserta Fellowship Jurnalisme Pendidikan ini, Henny mengingat-ingat dengan baik momen kala dia mengajar daring dengan metode coaching.
Ia mengawali kelasnya dengan lantunan musik yang ia putar di Zoom Meeting sembari menunggu para mahasiswanya masuk. “Saya join dulu sebelum waktu yang ditentukan, sekitar 5-10 menit sebelumnya saya putar dulu itu musik,” ucapnya.
Setelah itu, ia mulai menyapa para mahasiswa dan menanyakan hal-hal yang mungkin tidak terlalu penting. Pertanyaannya sangat gampang, ia menanyakan soal bagaimana nilai perasaan mahasiswanya pada hari itu, dari level 1-10. Ia meminta mahasiswanya untuk menuliskan di kolom chat.
Berawal dari pertanyaan simpel itulah kelas Henny mulai aktif. Para mahasiswa yang sebelumnya cenderung pasif dan off cam dengan berbagai alasan, berubah menjadi aktif dan mau menyalakan kameranya. Suasana kelas pun menjadi hidup.
Selain itu, Henny juga melibatkan mahasiswanya dalam setiap penilaian. Kelas yang ia ampu tidak hanya berjalan satu arah, tetapi mahasiswa juga diberikan ruang untuk berargumentasi. Melalui metode coaching, mahasiswa diajak untuk belajar dengan project based learning dan case method.
Dalam kelas online yang menggunakan fasilitas Zoom Meeting tersebut Henny membagi para mahasiswanya ke dalam delapan breakout room. Satu kelas ada sekitar 60-80 mahasiswa. Ia menunjuk satu orang sebagai fasilitator dalam diskusi kelas untuk masing-masing room.
“Nanti saya akan tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu, cuma sekadar mendengarkan apa yang disampaikan mereka atau misalnya ikut kalau pada diam ‘loh kenapa kok diam lha ini bagaimana’,” jelasnya.
Pembelajaran dengan cara seperti ini ia dapatkan tatkala mengikuti program Inspiring Lecturer Paragon (ILP) yang diselenggarakan oleh PT Paragon Technology and Innovation.
Paragon CSR Senior Officer, Nelsa Dwi Wahyuni, mengatakan program dosen inspiratif ini tidak hanya memberikan pelatihan mengenai metode coaching yang bisa diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi, tetapi juga memberikan dukungan seputar kebutuhan dosen.
“Tujuannya untuk menjadi program yang mendukung kapasitas dosen-dosen di perguruan tinggi,” ucap Nelsa yang juga sebagai Project Manager Inspiring Lecturer Paragon.
Pelatihan ILP ini terbagi ke dalam tiga kompetensi, di antaranya kompetensi inti (core competencies), kompetensi fungsional (functional competencies), dan kompetensi lanjutan atau advance/innovation competencies.
Menurut pemaparan Nelsa, kompetensi kunci bertujuan untuk memperkuat seorang dosen dalam menjalankan misi mulia dalam pendidikan. Adapun, kompetensi teknis bertujuan untuk membantu dosen menjadi pengajar berkualitas.
Sementara itu, pada kompetensi lanjutan, program ini memberikan pelatihan terkait apa yang dibutuhkan dosen untuk selalu siap dengan tantangan kemajuan zaman.
“Harapannya dengan adanya program ini mereka bisa mengembangkan calon-calon pemimpin masa depan,” jelasnya.
Turut hadir dalam pemaparan, Rico Juni Artanto, selaku Inisiator Program Inspiring Lecturer Paragon. Ia mengatakan, program dosen inspiratif ini sebelumnya bernama Lecturer Coaching Movement, hingga akhirnya berganti nama menjadi ILP.
Menutnya, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang diusung oleh pemerintah memberikan akses bagi perusahaan untuk berkolaborasi dengan perguruan tinggi, salah satunya dengan memberikan coaching kepada para dosen melalui program ILP..
Dikutip dengan perubahan judul dari: https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-6100822/cerita-dosen-usu-mengajar-dengan-metode-coaching-bikin-mahasiswa-antusias